Sabtu, 20 Januari 2018

Gaya Hidup Muslim Cerdas dan Bahagia Bersama Ulama

Gaya Hidup Muslim

Cerdas dan Bahagia Bersama Ulama

ULAMA kehidupan umat Islam seperti rembulan di tengah gelap gulita. Sosoknya yang merupakan pewaris Nabi memiliki kedudukan istimewa di tengah-tengah hati kaum Muslimin.

Natsir dalam Capita Selectamenulis, “Bagi mereka, fatwa seorang alim yang mereka percayai berarti satu “kata-keputusan” yang tak dapaat dan tak perlu dibanding lagi. Seringkali telah terbukti, bagaimana susahnya bagi pemerintah negeri menjalankan satu urusan, bilamana tidak disetujui oleh ali-ulama di daerah yang bersangkutan” (halaman: 187).

Demikianlah sikap ideal yang telah berabad-abad lamanya dijaga dan dipelihara oleh kaum Muslimin, termasuk di era kekinian alias zaman now, umat Islam tetap setia, membela dan mencintai ulama-ulama mereka.

Di dalam al-Qur’an kata ulama setidaknya disebut dua kali.

أَوَلَمْ يَكُن لَّهُمْ آيَةً أَن يَعْلَمَهُ عُلَمَاء بَنِي إِسْرَائِيلَ

“Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” (QS. Asy-Syu’ara [26]: 197).

Al-Qurtubi berpendapat bahwa yang dimaksud ulama pada ayat tersebut adalah orang-orang berilmu dari kalangan mereka yang paling tahu dan paham isis kitab-kitab suci.


Pengkritik Fatwa Ulama Biasanya Kurang Tahu Kedudukan Ulama

kita saksikan, khususnya di jejaring sosial, sebagian orang berani melecehkan para ulama dan tidak menghormati hujah mereka.

Fenomena ini adalah salah satu tanda akhir zaman, padahal dalam Islam para ulama mendapatkan kedudukan yang sangat terhormat sekali. Diantaranya adalah apa yang disebutkan Allah Subhanahu Wata’ala dalam salah satu firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

”Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu.” (Qs. An-Nisa’ : 59)

Dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati Allah , Rosul-Nya dan ulil amri. Hanya saja ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya adalah ketaatan mutlak, sedangkan ketaaatan kepada ulil amri tergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rosul-Nya. Adapun maksud dari ulil amridalam ayat tersebut menurut Ibnu Abbas ra, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya adalah para pakar fiqh dan para ulama yang komitmen dengan ajaran Islam. Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat bahwa ulil amri di atas mencakup para ulama dan umara (pemimpin).

Ini sesuai dengan apa yang kita dapati dalam perjalanan sejarah Islam pertama, bahwa Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus. Begitu juga para khulafa’ rasyidin sesudahnya : Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali, begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas. Namun dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam. Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.

Dalam posisi seperti ini, manakah yang harus kita taati terlebih dahulu, ulama atau umara?

Kalau kita perhatikan ayat di atas secara seksama, akan kita dapati bahwa ketaatan kepada ulil amritergantung kepada ketaatan mereka kepada Allah dan Rosul-Nya. Sedang orang yang paling mengetahui tentang perintah Allah dan Rosul-Nya adalah para ulama, dengan demikian ketaatan kepada para ulama didahulukan daripada ketaatan kepada umara, karena umara sendiri wajib mentaati ulama yang komitmen dengan ajaran Islam.

Dalam hal ini Ibnu Qayyim dalam bukunya ” I’lam Al Muwaqi’in ” (1/9) menyatakan : ”Pendapat yang benar adalah bahwa para umara’ hanya boleh ditaati jika mereka memerintahkan kepada sesuatu yang berdasarkan ilmu, hal itu bisa terwujud jika para umara’ tersebut mengikuti para ulama, karena ketaatan itu hanya diwajibkan pada hal-hal yang baik–baik saja dan berdasarkan ilmu. Oleh karenanya, kita mentaati ulama, karena mereka mentaati Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, begitu juga kita mentaati umara’ karena mereka mentaati para ulama .”

Maka, sangatlah indah jika para umara dan ulama tersebut saling bekerjasama untuk memimpin, mengajak, dan memerintahkan umat ini kepada hal-hal yang baik dan bermanfaat di dunia dan akherat, serta melarang hal-hal yang jelek yang akan membawa mudharat bagi bangsa dan umat. Suatu negara akan baik dan maju jika para pemimpin dan ulamanya baik, sebaliknya jika keduanya rusak, maka negarapun pasti akan rusak. Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Abdullah Mubarak :

”Dua kelompok manusia, jika mereka baik, maka masyarakat akan baik, sebaliknya jika mereka rusak, maka masyarakatpun akan ikut rusak, mereka itu adalah para ulama dan umara’. “

 

Hal ini dikuatkan dengan sabda Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam : ”Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari diri para ulama, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan matinya para ulama, sehingga jika tidak tersisa seorang ulama-pun, maka masyarakat akan mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin, jika mereka ditanya mereka menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan. ” (HR. Bukhari )

Dalam hadist tersebut Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam menjelaskan bahwa kebaikan dunia serta kebahagiaan suatu masyarakat identik dengan keberadaan para ulama, hal itu karena melalui merekalah ilmu syare’ah Islam yang berdasarkan Al Qur’an dan Hadist ini menyebar di masyarakat. Jika mereka telah tiada, maka masyarakat akan kehilangan pegangan, sehinga mereka mudah diombang-ambingkan oleh pemikiran-pemikiran sesat, kalau sudah demikian dunia akan rusak, dan semakin dekatlah hari kiamat. Dari hadist tersebut juga bisa dipahami bahwa para ulama yang tidak mau terjun di masyarakat untuk menjelaskan ajaran Islam ini secara menyeluruh dan tidak mau menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran di tengah-tengah masyarakat, maka keberadaan mereka tidak dianggap. Mereka hidup akan tetapi pada hakekatnya mereka telah mati, karena kehidupan para ulama diukur dengan ilmu yang mereka sebarkan di tengah masyarakat. Maka, tak aneh jika kelompok-kelompok sesat mulai bermunculan bagi jamur di musim hujan, karena para ulamanya sibuk mengejar jabatan dan kesenangan dunia serta lupa dengan kewajiban mereka yang sesungguhnya, yaitu sebagai pewaris para nabi …sungguh benar apa yang disabdakan oleh Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, bahwa masyarakat tidak menemukan ulama di tengah-tengah mereka, akhirnya mereka menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.

Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wata’ala berfirman :

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

”Allah menyatakan bahwasanya tiada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tiada Ilah (Yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran : 18)

Syekh Abdurrahman Sa’di dalam tafsirnya (1/365) menyatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang tingginya posisi para ulama di sisi Allah dan juga dihadapan masyarakat secara umum. Karena Allah menyebutkan mereka saja tanpa menyebutkan kelompok manusia yang lain. Bahkan menyebutkan persaksian mereka bersamaan dengan persaksian-Nya sendiri dan persaksian para malaikat-Nya, serta menjadikan persaksian mereka sebagi bukti atas kebenaran tauhid-Nya. Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk menerima kesaksian yang jujur dan adil tersebut. Hal ini menunjukkan juga bahwa para ulama tersebut adalah orang-orang yang adil, dan seluruh makhluk yang ada di dunia ini harus mengikuti mereka, karena mereka adalah para pemimpin yang harus dipatuhi.

Dari keterangan di atas, masalahnya menjadi menjadi jelas, bahwa para ulama dalam sebuah masyarakat dan negara mempunyai peran yang sangat besar, mereka berhak untuk ikut campur dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan maslahat umat, karena mereka mempunyai bekal dan ilmu yang cukup untuk berbicara masalah tersebut, apalagi kalau hal tersebut dilakukan secara musyawarah dan bersama-sama, tentunya akan lebih kuat dan akan terhindar dari mengikuti hawa nafsu atau sekedar mencari jabatan serta kesenangan dunia, seperti yang dituduhkan oleh beberapa pihak.

Bahkan dalam kajian ilmu ushul fiqh, kita dapatkan bahwa Ijma’(konsensus ulama) merupakan sumber hukum ketiga setelah Al Qur’an dan hadist. Hal itu, mengingat bahwa para ulama tersebut tidak akan mungkin berkumpul dan menyepakati hal-hal yang bertentangan dengan syare’at Islam. Yang menarik dalam hal ini, adalah apa yang dilakukan oleh Imam Syafi’I ketika ditanya oleh seseorang tentang landasan hukum dari Al Qur’an tentang keabsyahan ijma’. Beliau meminta waktu tiga hari untuk merenungkan Al Qur’an, setelah itu beliau membaca firman Allah Subhanahu Wata’ala :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

”Dan Barangsiapa yang menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orng mukmin , maka Kami biarkan ia bergelimang dalam kesesatannya, dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan neraka Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)

Imam Syafi’I melihat dalam kalimat Al Qur’an di atas, yaitu yang berbunyi : ”dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin ” sebagai landasan keabsyahan ijma’ (konsensus ulama). Adapun keterangannya adalah barang siapa yang menyelisihi jalan atau cara pandang orang-orang yang beriman, dalam hal ini adalah ijma’(konsensus) para ulama , maka dia diancam oleh Allah dengan neraka Jahannam. Padahal secara kenyataannya para ulama itu adalah bagian dari umat ini, bahkan jumlah mereka sangat sedikit, namun karena kapasitas keilmuan mereka, maka kesepakatan mereka dianggap telah mewakili umat Islam secara keseluruhan. Dari sini, kita mengetahui betapa tinggi kedudukan para ulama di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain, ayat di atas memberikan pesan kepada umat Islam untuk selalu bersama dengan para ulama, dan bertanya kepada mereka tentang hal-hal yang tidak mereka ketahui, sekaligus larangan untuk menyelisihi para ulama dengan mengeluarkan pendapat – pendapat aneh yang tidak ada dasarnya dari Al Qur’an dan hadist. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala menjaga kita dari berbuat yang tidak sesuai dengan jalannya orang-orang beriman. Amien.*



Kemudian pada Surah Al-Fathir ayat ke 38. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”

Makna dan maksudnya jelas, bahwa yang takut kepada Allah itu hanyalah para ulama, karena merekalah yang kenal Allah dan benar-benar mengesakan-Nya. Dalam kata yang lain, sebanyak apapun ilmu seseoerang jika tidak takut kepada Allah, maka jelas, bukan ulama.

Imam Ghazali berkata, “tidak semua orang berilmu layak menyandang gelar ulama. Hal ini karena, keulamaan bukan semata-mata soal pengetahuan atau kepakaran, akan tetapi soal ketakwaan dan kedekatan kepada Tuhan. Ulama sejati adalah mereka yang tidak hanya dalam dan luas ilmunya akan tetapi tinggi rasa takutnya kepada Allah dan bersih dari bayangan palsu (igthirar alias ghurur) mengenai dirinya” (Islam dan Diabolisme Intelektual, halaman: 23).

Takut kepada Allah maksudnya apa? Menurut Sa’id ibn Jubayr sebagaimana dikutip dalam buku Islam dan Diabolisme intelektual, takut dalam ayat tersebut berarti sesuatu yang menghalangi kita dari perbuatan dosa, maksiat atau durhaka kepada Allah.

Maka, terang di sini tidak ada sumber kebahagiaan dan kedamaian hidup ini selain dekat dan patuh kepada ulama. Di samping hidup dan membersamai ulama akan menjadikan kapasitas intelektual kita (kecerdasan) terus meningkat.

Bagaimana tidak akan meningkat kecerdasan, sedangkan para ulama selalu mampu menghubungkan makna dengan tantangan hidup keumatan yang sedang dan akan terjadi. Mengapa? Tidak lain dan tidak bukan, karena kata Nabi, ulama adalah pewaris para Nabi.


Jangan Biadab dengan Ulama

ILMU  dalam Islam memiliki kedudukan yang istimewa, karena kehidupan manusia tidak akan tegak lurus tanpa ilmu. Dan ilmu merupakan sifat yang melekat pada para nabi.

Antara rahmat Allah yang diberikan kepada manusia adalah tidak mencabut ilmu dengan meninggalnya para nabi, karena para nabi mewariskan ilmu kepada sekelompok manusia untuk menggantikan kedudukan mereka dalan mengemban amanah Allah dalam mengajarkan manusia dan mengemban tugas para nabi ketika masih hidup, hanya saja kelompok tersebut tidak didukung oleh wahyu secara langsung dan tidak pula ma’shum. Kelompok yang dimaksud adalah para ulama.

Dari Abu Darda’ Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallambersabda, Barangsiapa melalui satu jalan yang di dalamnya terdapat ilmu, maka Allah akan memberinya jalan menuju surga. Dan sungguh para malaikat meletakkan sayapnya bagi penuntut ilmu sebagai bentuk keridhaannya atas apa yang diperbuat, dan seluruh penduduk langit dan bumi meminta ampun bagi orang yang berilmu, bahkan ikan-ikan di air juga melakukan hal yang sama.

Dan keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang, para ulama adalah orang yang mewarisi nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak, (At-Tirmidzi, Kitabul Ilmi, Bab Fadlul alal Ibadah, No. 2682).

Di akhir hadis Nabi di atas, sangat jelas bahwa para nabi tidak mewariskan harta benda atau kekuasaan, namun justru mewariskan ilmu. Dan siapa pun yang mengambil bagian dari ilmu para nabi maka sesungguhnya ia telah mendapat hikmah. Dan siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya telah dikaruniai kebaikan yang banyak. Begitu firman Allah (QS. Al-Baqarah [2]: 269).

Hadis di atas juga menjelaskan keutamaan ilmu dan kedudukan ulama, sampai-sampai para malaikat meletakkan sayapnya bagi para penuntut ilmu sebagai bentuk dukungan dan penghormatan. Rasulullah juga mengkhususkan dengan jelas bahwa makhluk yang ada di bumi dan langit memohonkan ampun untuk seorang ulama, termasuk makhluk yang ada di dalam air.

Pada kesempatan lain, juga membandingkan ulama dengan ahli ibadah, Sabda Nabi, Dari Abi Umamah al-Bahily bahwasanya disebutkan dua orang pertama ahli ibadah dan yang lainnya ulama, maka Rasulullah bersabda, Keutamaan ulama atas ahli ibadah adalah seperti antara kedudukanku dengan orang yang paling rendah di antara kalian, lalu ia kembali bersabda, Sesungguhnya para malaikat, para penduduk langit dan bumi, para semut di liangnya, bahkan ikan pun turut mendoakan kebaikan kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia, (At-Tirmidzi, Kitabul Ilmi, Bab fiqhi alal Ibadah, no. 2685).

Antara keutamaan ulama berbanding dengan ahli ibadah, karena ahli ibadah yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu maka dia bisa saja sesat bahkan menyesatkan orang lain. Seperti halnya penduduk Makkah di zaman Rasulullah yang mengakui bahwa beribadah kepada Allah tetapi tanpa ilmu, maka mereka tetap dalam kekafiran dan kesesatan, (QS. Az-Zumar: 3).

Begitu juga ahli ibadah yang beribadah hanya berdasarkan prasangka yang salah, maka tentunya ibadah mereka tidak diterima, dan hanya akan mendapatkan kerugian, (QS. Fishshilat: 23). Imam Al-Darimi menceritakan bahwasanya Umar bin Abdil Aziz pernah mengirim surat pada penduduk Madinah yang isinya, Sesungguhnya orang yang beribadah tanpa ilmu maka dampak kerusakannya lebih banyak dari kemaslahatannya. (Az-Dzahabi, Tadzkiratul Huffadz, 1/439).

Abdullah bin Mas’ud bahkan menyatakan bahwa kedudukan ulama lebih utama daripada para mujahid, beliau berkata, Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya orang yang mati syahid di jalan Allah mengharapkan agar Allah mengutus kepada mereka ulama karena mereka mengetahui keutamaannya. (Abu Hamid Al-Gazali, Ihya Ulumuddin, 1/8).

Hasan al-Bashri berkata, ketika tinta ulama ditimbang dengan tinda syuhada, maka tinta ulama lebih unggul.

Sekilas pernyataan Hasan Al-Bashri rahimahullah tanpak berlebihan, namun jika ditelaah secara mendalam maka argumennya bisa diterima karena keutamaan jihad tidak akan pernah diketahui kecuali dengan ilmu. Seorang tidak akan berangkat berjihad tanpa mengetahui keutamaannya, dan syarat serta rukun jihad dapat diketahui dengan ilmu, termsuk status hukumnya, fardhu ain atau kifayah.

Orang yang tidak berilmu dapat menyebabkan meninggalkan jihad yang fardhu dan mendahulukan amalan sunnah, tentu saja ini salah. Demikian pula, orang yang pergi berjihad tanpa ilmu, boleh jadi melanggar ketentuan-ketentuan seperti membakar pemukiman warga, merusak tanaman, membunuh orang yang dilarang dibunuh, dan sejenisnya. Ilmu akan memberikan pengetahuan batas-batas dalam berjihad. Tanpa adanya ulama yang hakiki maka tidak akan ditemukan pula para mujahid yang hakiki.

Contoh kongkrit adalah golongan Khawarij, rajin beribadah kepada Allah, menegakkan kewajiban, dan berjihad di jalan Allah. Sayang, mereka berbuat tanpa ilmu, sehingga hal tersebut  menjerumuskan mereka dalam lubang kesesatan atau bahkan mengeluarkan mereka  dari Islam tanpa sadar, bahkan merasa paling mulia kedudukannya di hadapan Allah.

Fenomena ini pula yang terlihat pada salah satu stasiun televisi (Metro TV) baru-baru ini yang menuduh bahwa organisasi massa Islam yang resmi seperti Wahdah Islamiyah, lebih khusus pendiri dan pimpinannya, Dr. Zaitun Rasmin difitnah seranpangan sebagai bagian dari terorisme. Konyolnya, data yang mereka gunakanpun tidak jelas asal-muasalnya, sebab selama ini, saya beberapa kali ikut training of trainer penanggulangam terorisme oleh BNPT tak pernah pun menyebut Wahdah Islamiyah sebagai organisasi terorisme.

Sebagaimana kita ketahui secara jamak, Zaitun Rasmin adalah Ketua Ikatan Ulama dan Dai se-Asia Tenggara, juga sebagai salah satu inisiator dan deklarator berdirinya Mejelis Intelektual-Ulama Muda Indonesia (MIUMI). Kedua gerakan dakwah tersebut masing-masing concern dalam melakukan kaderisasi ulama yang kiprahnya sangat terasa bagi bangsa dan negara.

Tema-tema gerakan pun sangat religius-nasionalis, salah satunya, Menuju Indonesia yang Lebih Beradab. Dan, sangat biadab jika menuduh dan memitnah ulama sebagai teroris.*


Di sinilah kedudukan ulama tidak bisa dipandang laksana jabatan pada umumnya.

“Ulama bukanlah pemimpin yang dipilih dengn “suara terbanyak” bukan yang diangkat oleh “persidangan kongres.” Akan tetapi kedudukan mereka dalam hati rakyat yang mereka pimpin, jauh lebih teguh dan suci dari pemimpin pergerakan yang berorganisasi atau pegawai pemerintah yang manapun juga” (halaman: 188).

Selain itu, dalam konteks kesejaharahan, jauh sebelum Indonesia ini mewujud, peran strategis para ulama sangatlah tak terbantahkan kontribusinya.

Siapa yang dapat mengobarkan semangat jihad melawan penjajah Portugis, Belanda dan Jepang, jika bukan para ulama. Dari Aceh hingga Papua, berderet kesultanan-kesultanan Islam yang raja-raja itu tidak mengambil keputusan melainkan setelah mendapatkan saran dan nasehat dari para ulama.

Oleh karena itu penting dan sangat menarik generasi Muslim hari ini mengenal siapa ulama sesungguhnya.

Natsir memberikan rekomendasi dalam hal ini, “Berkenalanlah dengan kiai-kiai dan berhubunganlah dengan mereka. Mereka itu berikhtiar menujukan fikiran rakyat ke arah alam ruhani; suatu bangsa tak kan hidup, bila kehidupan ruhaninya tidak terpimpin. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan menjauhi barang ang mungkar. Dan bukankah yang demikian itu pekerjaan tuan-tuan juga adanya?” (halaman: 193).

Otoritas Ulama dalam Prespektif Islam


Dalam konteks zaman now, untuk bisa dekat dengan ulama tidak terlalu sulit, media internet memberikan kemudahan untuk kita semakin cerdas dan bahagia bersama ulama.

Jika telah memiliki smartphonelengkap dengan kuota internet, maka gunakanlah sebagian besar kuota yang ada itu untuk membaca, memperhatikan ceramah atau taushiyah-taushiyah para ulama kita.

Sekalipun tentu jangan puas dan merasa cukup dengan mendekat kepada ulama melalui internet. Tetapi juga harus hadir ke masjid, majelis-majelis mereka, sebab bersialturrahim di dalam masjid atau dimana ada ulama kita melakukan taushiyah atau tabligh sangat berbeda dengan sebatas menyaksikan di dunia maya.

Beruntunglah umat Islam Indonesia, karena zaman now masih ada ulama yang konsisten menjadikan dakwah-dakwah mereka mudah diakses di dunia maya, sehingga syiar kebenaran dapat dengan mudah kita dapatkan.

Dengan demikian, dekatlah dengan ulama dengan cara yang bisa kita lakukan dan teruslah untuk selalu bersama para ulama. Karena sedetik meninggalkan mereka, jutaan hikmah dan kebaikan kita lewatkan dalam kehidupan kita.

Terlebih seorang ulama, kata Dr. Syamsuddin Arif, bukan semata orang yang berkualitas spiritual, mental dan intelektualnya, tetapi juga sosok yang paling terdepan memikirkan nasib bangsa dan negara. “Para ulama sadar betul akan tugas mereka sebagai penuntun dan pembela umat.”

Jadi, mari terus bersama cintai dan bela ulama kita. Bukan untuk gagah-gagahan, tetapi memang demi keutuhan NKRI dan terawatnya nalar sehat kita semua sebagai umat Islam, penduduk mayoritas negeri ini. Wallahu a’lam.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar