Makna dzahir dan makna bathin
Kompetensi yang paling mendasar yang harus dikuasai untuk dapat memahami Al Qur’an dan As Sunnah adalah penguasaan tata bahasa.
Kompetensi yang paling mendasar dalam penguasaan tata bahasa adalah membedakan antara kata dengan makna atau arti kata dengan makna kata
Makna dzahir adalah makna dari apa yang tertulis atau makna tersurat sedangkan makna bathin adalah makna dibalik yang tertulis atau makna tersirat.
Makna dzahir terkait dengan makna harfiah atau makna leksikal yakni makna dasar yang terdapat pada setiap kata atau kalimat atau makna kata secara lepas, tanpa kaitan dengan kata yang lain dalam sebuah susunan kata atau kalimat.
Sedangkan makna bathin terkait dengan makna gramatikal yakni makna turunan atau makna kata yang terbentuk karena penggunaan kata tersebut dalam kaitannya dengan tata bahasa. Makna gramatikal muncul karena kaidah tata bahasa, seperti afiksasi, pembentukan kata majemuk, penggunaan atau susunan kata dalam kalimat dan lain lain.
Contoh tangan makna harfiah atau makna kata secara lepas adalah bagian dari anggota tubuh manusia namun ketika bersusunan seperti buah tangan, tangan kanan, tangan besi, ringan tangan mempunyai makna yang berlainan
Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat mutasyabihat tentang sifat dengan makna dzahir.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Bahkan Imam Sayyidina Ali ra mengatakan bahwa mereka yang mensifati Allah ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
– Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
– I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia
Ibnu Abbas ra. mentakwîl ayat :
و السَّمَا ءَ بَنَيْناهَا بِأَيْدٍ و إِنَّا لَمُوسِعُو ن
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS adz Dzâriyât [51] : 47).
Kata أَیْدٍ secara lahiriyah adalah telapak tangan atau tangan dari ujung jari jemari hingga lengan, ia bentuk jama’ dari kata یَدٌ
Akan tetapi Ibnu Abbas ra. menkwîl arti kata tangan dalam ayat Adz-Dzariyat tersebut dengan بِقُوَّةٍ artinya kekuatan. Demikian diriwayatkan al-Hafidz Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya, 7/27. Selain dari Ibnu Abbas ra., ta’wîl serupa juga diriwayatkannya dari para tokoh Tabi’în dan para pemuka Salaf Shaleh seperti Mujahid, Qatadah, Manshur Ibnu Zaid dan Sufyan.
Kata “wajah”, orang Arab biasa menggunakannya secara majaz untuk mengungkapkan sosok seseorang demi memuliakannya. Maka mereka berkata: “jaa’a wajhul qoumi” telah datang wajah kaum. Dengan demikian, ayat (yang artinya) “dan kekallah wajah Tuhanmu” (QS Ar Rahman [55]:27) makna wajah dalam konteks itu artinya adalah Dzat Allah Ta’ala
Begitupula “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam pinggang Allah (janbi allaahi)” dimaknakan menjadi “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam menjalankan kewajiban terhadap Allah” (QS Az Zumar [39]:56)
Abdullah bin ‘Umar dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Pada hari kiamat kelak, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melipat langit. Setelah itu, Allah akan menggenggamnya dengan tangan kanan-Nya sambil berkata: ‘Akulah Sang Maha Raja. Di manakah sekarang orang-orang yang selalu berbuat sewenang-wenang? Dan di manakah orang-orang yang selalu sombong dan angkuh? ‘ Setelah itu, Allah akan melipat bumi dengan tangan kiri-Nya sambil berkata: ‘Akulah Sang Maha Raja. Di manakah sekarang orang-orang yang sering berbuat sewenang-wenang? Di manakah orang-orang yang sombong? “ (HR Muslim 4995).
Hadits di atas tidak menjelaskan bahwa Allah ta’ala mempunyai dua buah tangan , tangan kananNya yang dipergunakan melipat langit dan tangan kiriNya digunakan melipat bumi.
Makna hadits tersebut mengandung makna majaz yang maksudnya adalah tangan kanan terkait sesuatu yang baik yakni langit dan tangan kiri terkait sesuatu yang buruk yakni bumi.
Begitupula hadits berikut
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin ‘Uyainah dari ‘Amru -yaitu Ibnu Dinar- dari ‘Amru bin Aus dari Abdullah bin ‘Amru, -dan Ibnu Numair dan Abu Bakar mengatakan sesuatu yang sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dalam haditsnya Zuhair- dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman ‘azza wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka.” (HR Muslim 3406)
Hadits tersebut tidak menjelaskan bahwa Allah ta’ala mempunyai dua buah tangan , dua-duanya adalah kanan
Makna hadits tersebut “tangan kanan Allah” adalah makna majaz yang maksudnya adalah manusia yang dipercayai dan mewakilkan Allah ta’ala dalam menegakkan keadilan adalah orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka. Mereka akan meraih sebaik-baik maqom disisiNya yang diungkapkan dengan kalimat majaz yang artinya “berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman ‘Azza wa Jalla“ Dimana “di sebelah kanan Ar Rahman ‘Azza wa Jalla” maknanya maqom (derajat) yang baik atau mulia.
Untuk mendalami makna bathin atau makna dibalik yang tertulis atau makna yang tersirat adalah dalam alat bahasa seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh (ma’ani, bayan dan badi’)
Pada zaman sekarang ini bermunculan kursus kilat untuk dapat mengerti bahasa Arab, tujuannya untuk dapat mempelajari atau memahami Al Qur’an dan As Sunnah secara mandiri. Namun yang dipelajari pada umumnya adalah makna dzahir dari sudut arti bahasa (istilah) dan isitilah (terminologi) saja yang tidak cukup untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah.
Pondok-pondok pesantren terdahulu atau pondok Salafiyah dimana murid mendatangi gurunya, hal yang diajarkan kepada muridnya untuk dapat memahami Al Qur’an dan As Sunnah adalah alat bahasa seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh (ma’ani, bayan dan badi’)
Contohnya dalam memahami hadits
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas;
Dalam Ilmu Balaghah dikatakan,
حدف الصفة على الموصوف
“membuang sifat dari benda yang bersifat”.
Jadi jika ditulis lengkap dengan sifat dari bid’ah kemungkinannya adalah
a. Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
Semua “bid’ah yang baik” itu sesat (dholalah), dan semua yang sesat (dholalah) masuk neraka
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat (dholalah) berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.
b. Kemungkinan kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِىالنَّاِر
Semua “bid’ah yang jelek” itu sesat (dholalah), dan semua yang sesat (dholalah) masuk neraka
Jadi kesimpulannya bid’ah yang sesat masuk neraka adalah bid’ah yang jelek (sayyiah) pengecualiannya adalah bid’ah yang baik.
Begitupula hadits “Kullu bid’atin dholalah” ditinjau dari ushul fiqih adalah hadits yang bersifat umum
Para ushuliyun, membagi lafaz dalam hubungannya dengan makna kepada beberapa bagian :
1. Ditinjau dari segi makna : Khash, ‘Amm, Musytarak
2. Ditinjau dari segi makna yang dipakai untuk lafadz itu : Hakikat, Majaz, Sharih, dan Kinayah
3. Ditinjau dari segi terang dan menyembunyinya makna, lafadz itu dibagi menjadi : Zhahirud dalalah, Khafiyud Dalalah.
4. Ditinjau dari segi cara-cara penunjukkan (dalalah) lafadz kepada makna menurut kehendak pembicara, lafadz itu dibagi menjadi : dalalah ibarat, isyarat, dalalah dalalah, dalalah iqtidha
Imam An Nawawi ~rahimahullah mengatakan
قَوْلُهُ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ هَذَاعَامٌّ مَخْصٍُوْصٌ وَالْمُرَادُ غَالِبُ الْبِدَعِ .
“Sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam, “Kullu Bid’ah dlalalah” ini adalah ‘Amm Makhshush, kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Jadi yang dimaksud adalah sebagian besar bid’ah itu sesat, bukan seluruhnya.” (Syarh Shahih Muslim, 6/154).
Seperti yang mana telah disebutkan bahwa Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa ‘kullu’/’setiap’ adalah ‘amm makhusush.
Lafaz ‘amm adalah suatu lafaz yang sengaja diciptakan oleh bahasa untuk menunjukkan suatu makna yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
Jumhur ahli ushul menetapkan bahwa dalalah ‘amm yang mencakup seluruh satuan-satuannya adalah zhanniyah (dugaan,tidak pasti / tidak suatu hal yang qath’i,tidak menunjukkan arti lugas). sebab kebanyakan nash-nash yang datang dengan ‘sighat’ umum itu dimaksudkan hanya sebagian satuannya saja, hingga masyurlah dikalangan mereka(ahli ushul fiqih) suatu ketentuan yang berbunyi, “tidak ada lafadz ‘amm, melainkan selalu ditakhshiskan”Oleh karena itu setiap mujtahid ketika menemui lafadz ‘amm hendaklah selalu berusaha mencari ‘takhshish’nya.
Apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sebagian dari ‘amm itu dikeluarkannya, dalalah sisa dari satuan yang telah dikeluarkan adalah ‘zhanniyah’ juga. Sebagai contoh, firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang artinya. “…wanita wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) sampai tiga kali suci…” (QS Al Baqarah [2]:228)
Ketentuan bagi wanita yang ditalak itu hendaknya beriddah tiga kali suci dalam ayat tersebut adalah umum (lafadz’amm), baik mereka hamil atau tidak. Kemudian, ketentuan tersebut di-”takhsis”/khususkan bagi wanita wanita yang hamil iddahnya ialah dengan melahirkan kandungan, sebagaimana ditunjuk oleh firman Allah dalam surat ah Al-Thalaq 65:4 “…dan perempuan yang hamil iddah mereka itu ialah sampai melahirkan.‘
Kita lihat bagaimana begitu hati-hatinya ulama ulama dulu menafsirkan suatu ayat atau hadist.
Dan pemaknaan ‘kullu bid’atin dholalah’ juga termauk dalam kriteria lafadz ‘amm yang perlu di’takhsishkan lebih lanjut, karena makna lughowinya bersifat ‘zhaniyyah’.
Hadits yang tidak bersifat umum atau hadits yang menjelaskan tentang bid’ah adalah seperti
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak turunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya (tidak turunkan keterangan padanya) maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)
Bid’ah yang jelek atau bid’ah dholalah adalah bid’ah dalam urusan agama (urusan kami) yakni bid’ah dalam urusan yang merupakan hak Allah Azza wa Jalla menetapkannya atau mensyariatkannya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Telah sempurna agama Islam maka telah sempurna atau tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang didiamkanNya atau dibolehkanNya.
Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam [19]:64)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS Al-Maaidah: [5] : 3)
Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang di syariatkan-Nya.”
Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Jadi kaum muslim tidak boleh mengada ada larangan yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya karena termasuk bid’ah dalam urusan agama dan termasuk kesesatan atau termasuk perbuatan menyekutukan Allah
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Selain bid’ah dalam urusan agama, bid’ah yang jelek adalah sunnah sayyiah dan lawannya adalah bid’ah yang baik atau sunnah hasanah
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah (contoh) tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah (contoh) tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim 4830)
Arti kata sunnah dalam sunnah hasanah dan sunnah sayyiah adalah contoh kebiasaan atau suri tauladan atau perkara baru (bid’ah) di luar urusan agama (urusan kami) atau di luar perkara syariat atau di luar dari apa yang telah disyariatkanNya.
Hasanah (baik) jika tidak menyalahi satupun laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Sayyiah (buruk) jika menyalahi laranganNya atau bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Dalam Syarhu Sunan Ibnu Majah lil Imam As Sindi 1/90 menjelaskan bahwa “Yang membedakan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah adanya kesesuaian atau tidak dengan pokok-pokok syar’i “ maksudnya perbedaan antara sunnah hasanah dengan sayyiah adalah tidak bertentangan atau bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits
Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebaikan yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyelahi pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala.
Perkara kebaikan atau kebiasaan baik atau atau tradisi atau adat istiadat berlaku kaidah ushul fiqih
“wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah”
yang artinya “dan hukum asal dalam kebiasaan (adat istiadat) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“.
Contoh bid’ah hasanah atau bid’ah dalam perkara kebaikan atau kebiasaan baik adalah peringatan Maulid Nabi
Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.
Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah, dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam”
Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.
Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar