FIQIH NIKAH
Indahnya Bercinta Ala Rasulullah SAW
Ketika jima’ hanya merupakan peristiwa biologis yang cuma memberi kenikmatan inzal, sedang mereka tak menemukan kenikmatan lain yang lebih menyentuh rasa kemanusiaan (jangan bicara yang lebih tinggi dulu), maka hari ini kita saksikan orang sibuk membicarakan seks, seks, dan seks tanpa beranjak dari pola pembahasan yang hampir semuanya cenderung menekankan kepada aspek fisik. Lagi-lagi tidak menyentuh kepada aspek jiwa. Setiap hari orang sibuk berbicara tentang seks. Media massa memberi porsi yang besar terhadap seks; seks di rumah, seks di kantor, dan menyegarkan kembali hubungan seks dengan istri (masih untung kalau begini) melalui perpindahan tempat. Mereka sibuk menawarkan cara, misalnya suami-istri bepergian ke satu hotel dan melakukan hubungan seks di sana, tanpa mendengar keceriaan tawa anak-anak yang mengganggu.
Pada saat yang sama, manusia juga disibukkan untuk mempercantik diri. Sebagian dari mereka disibukkan dengan obsesi untuk melakukan rekayasa kecantikan demi mempertahankan daya tarik seks mereka di hadapan suami. Kita pernah membaca di media massa, sebagian di antara mereka melakukan operasi plastik untuk memancungkan hidung dan memontokkan payudara. Di antaranya berakhir dengan tragis; hidung yang patah, pembusukan payudara, kerusakan wajah akibat kosmetik yang berlebihan.
Ini adalah ironi kemanusiaan. Di saat manusia semakin “terdidik”, mereka justru mengalami kemerosotan dalam kehidupan psikisnya. Mereka terjebak pada aspek fisik yang sangat zahir, sehingga keelokan rupa yang menjadi perhatian utama (dan karena itu cepat membosankan). Padahal sesungguhnya, ada yang lebih berarti. Adakalanya orang aktif secara seksual, tetapi mereka tidak menemukan kesejukan dalam rumahnya. Rumah berhenti sebagai bangunan yang beratap dan berpintu. Mereka aktif bertasabbub, istri melahirkan anak hampir setiap dua tahun sekali (kadang malah tidak sampai dua tahun), anak mereka sampai lebih dari lima orang, tetapi tak ada kedamaian di rumah. Padahal Rasulullah sudah mengatakan bahwa بَيْتِيْ جَنَّتِيْ “Rumahku adalah surgaku”
Hubungan antara suami dan istri tidak akrab, apalagi mesra (kecuali saat berjima’). Ini berarti, ada yang lebih indah dari jima’. Keindahan di luar jima’ ini memang bisa semakin menyempurnakan keindahan dan kenikmatan jima’. Tetapi keindahan itu bukan terletak pada tercapainya inzal saat berjima’. Ada kesenangan hidup dalam rumah tangga (semoga Allah memberikan kesenangan itu kepada keluarga kita). Dan kesenangan itu bukan terletak pada kecantikan wajah yang membuat sebagian orang merasa cemas dan dilanda ketakutan ketika usia mendekati 40 tahun.
Kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, “Allah menjadikan penyebab kesenangan adalah keberadaan istri. Andaikata penyebab tumbuhnya cinta adalah rupa yang elok, tentunya yang tidak memiliki keelokan tidak akan dianggap baik sama sekali. Kadangkala kita mendapatkan orang yang lebih memilih pasangan yang lebih buruk rupanya, padahal dia juga mengakui keelokan yang lain. Meski begitu tidak ada kendala apa-apa di dalam hatinya. Karena kecocokan akhlak merupakan sesuatu yang paling disukai manusia, dengan begitu kita tahu bahwa inilah yang paling penting dari segala-galanya. Memang bisa saja cinta tumbuh karena sebab-sebab tertentu. Tetapi cinta itu akan cepat lenyap dengan lenyapnya sebab.”
Keberadaan istri (atau suami) itulah yang lebih indah daripada jima’ atau memandangi kecantikan wajah istri yang tidak terhalangi oleh bedak tebal. Sekalipun demikian, seorang istri perlu menjaga suaminya agar tidak tergoda oleh kecantikan wanita lain. Ini dilakukan dengan dua hal, setidaknya baru ini yang saya ketahui.
Pertama, melayani dengan penuh kehangatan (syukur jika mau mengingatkan suami tentang hal ini) jika suami harus pulang mendadak karena tergoda oleh kecantikan wanita di perjalanan. Kedua, tidak menceritakan kecantikan wanita lain seolah-olah suami melihat sendiri. Apalagi imajinasi sering memberi kesan yang lebih kuat dibanding melihat secara langsung.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA
MUTIARA HIKMAH
Jangan pernah berhenti mendengar nasehat, Karena Hati Akan buta apabila kehilangan nasehat….
Siapa yang mau mengurusi NU, saya anggap ia santriku. Siapa yang jadi santriku, saya do’akan husnul khotimah beserta anak cucunya.
Orang yang masih terganggu dengan hinaan dan pujian manusia, dia masih hamba yang amatiran.
Kebaikan seorang santri tidak dilihat ketika dia berada dipondok, melainkan setelah dia menjadi alumni, Kamu tinggal buktikan hari ini, bahwa kamu adalah santri yang baik.
Jadilah seburuk-buruk manusia dimata manusia, tetapi luhur dimata Allah.
Segala langkah,Ucapan,dan Perbuatan itu yang penting Ikhlas,Hatinya ditata yang benar, tidak pamrih apa-apa.
Dekatlah kepada Allah, Kalau tidak bisa, Dekatlah dengan Orang Yang Dekat Dengan-Nya.
Menjadi Baik itu mudah, yakni dengan hanya diam, maka yang tampak adalah kebaikan. Yang susah adalah membuat diri kita bermanfaat, karena ini butuh perjuangan.
Orang akan tetap pandai, selama dia terus belajar. Bila dia berhenti belajar karena merasa sudah pandai, Mulailah dia Bodoh.
Tidak ada alasan untuk tidak bersedekah kepada sesame. Karena sedekah tidak harus berupa harta. Bisa berupa ilmu, tenaga, bahkan senyum.
Jadi Guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. Yang penting niat menyampaikan ilmu dan mendidik yang baik. Masalah Muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan kepada Allah. Dido'akan saja terus menerus agar muridnya mendapatkan hidayah.
Nak kalau kamu jadi guru, dosen atau kiyai, kamu harus tetap punya usaha sampingan. Biar hatimu tidak selalu mengharap pemberian dari orang lain…. Karena usaha dari hasil keringatmu sendiri, itu Barokah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar