Senin, 25 November 2019

Rasulullah SAW. Menganjurkan minum kopi

Berbicara mengenai kopi, maka tidak akan lepas dengan yang namanya ngobrol bareng. 

Canda tawa, ngumpul bareng tidak nikmat rasanya jika tidak ditemani secangkir kopi. 

Bagi pencintanya kopi melebihi apapun. Bahkan ada yang mengatakan daripada tidak ngopi mendingan tidak makan nasi!. Itulah kelebihan kopi. Pada asalnya kopi sama dengan minuman-minuman yang lain, akan tetapi kemudian kopi dipandang lebih oleh banyak orang bahkan ulama sekalipun. Hal itu karena kopi mengandung zat yang bisa menjadikan orang melek bengi. Oleh karenanya banyak dari kalangan sufi yang senang ngopi karena bisa membuat tidak ngantuk di malam hari.

Istilah kopi sebenarnya sudah dikenal pada masa ulama terdahulu. Terbukti kita temukan beberapa karya ulama yang khusus membahas mengenai kopi. Dan jika disimpulkan secara keseluruhan isi karya-karya tersebut semuanya banyak menyanjung kopi. Tidak satupun dari ulama yang berkomentar negatif mengenainnya. Diantaranya adalah Imam Ibnu Hajar, beliau mengatakan “ kopi bisa menghilangkan galau bahkan bisa menarik asrar (rahasia ilahi.Red.). Penjelasan diatas hendaknya bisa memperbaiki niat para pencinta kopi yang dulu ngopi hanya untuk teman nongkrong belaka tapi sekarang lebih dari itu yaitu niat untuk lebih semangat beribadah kepada Allah SWT.

Terlebih lagi ternyata ngopi dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Hal itu disampaikan oleh salah satu Habaib yang berjumpa dengan Nabi dalam keadaan bangun. Suatu ketika as-Sayyid Ahmad bin Ali Bahr al-Qadimi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW dalam keadaan terjaga. Ia berkata kepada Nabi SAW.: “Wahai Rasulullah, aku ingin mendengar hadits darimu tanpa perantara.” Nabi Muhammad SAW. kemudian bersabda: “Aku akan memberimu 3 hadits;

  1. Selama bau biji kopi ini masih tercium aromanya di mulut seseorang, maka selama itu pula malaikat akan beristighfar (memintakan ampun) untuknya.
  2. Barangsiapa yang menyimpan tasbih untuk digunakan berdzikir maka Allah SWT akan mencatatnya sebagai orang yang banyak berdzikir, baik ia gunakan tasbihnya atau tidak.
  3. Barangsiapa yang duduk bersama waliyullah yang hidup atau yang sudah wafat maka pahalanya sama saja dengan ia menyembah Allah SWT di seluruh penjuru bumi.”

Al-Habib Abu bakar bin Abdullah al-Atthas berkata: “Sesungguhnya tempat yang ditinggalkan dalam keadaan sepi atau kosong maka jin akan menempatinya. Sedangkan tempat yang biasa digunakan untuk membuat hidangan kopi maka para jin takkan bisa menempati dan mendekatinya.” Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili RA, adalah ulama besar dan kaya-raya, murid dari seorang wali yang sangat karomah, Syeikh Abdullah al-Masyisyi. Suatu waktu ia harus mengamalkan wirid dan harus menahan wudhu’nya sampai 40 malam tanpa batal. Dengan memohon petunjuk Allah, beliau bermimpi didatangi Rasulullah SAW dan seraya bersabda: “Hai Abul Hasan. ini saya bawakan biji-bijian yang banyak terdapat di tempatmu. Jemurlah! Goreng kering hingga menjadi lunak, kemudian tumbuk sampai lembut. Sesudah itu, seduh dengan air mendidih. Air itulah yang kau minum setiap malam. Insya Allah kamu tidak akan mengantuk”. Esoknya, tahulah beliau bahwa biji yang ditunjukkan Rasulullah adalah biji kopi. Sejak minum kopi itu, beliau mampu menahan kantuk beberapa malam, bahkan 40 malam.

Wallohu'alam

Penulis:

Muhammad Aulia Hafidz Al-Majied Lc'

Senin, 28 Oktober 2019

دُعَاءُ أَثْنَاءَ الْحَمْلِ

 دُعَاءُ أَثْنَاءَ الْحَمْلِ 
Doa Saat Kehamilan

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ لَئِنْ

آتَيْتَنَا صَالـِحًا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الشَّاكِرِيْنَ

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّـبَةً إِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاءِ

رَبِّ إِنِّي أُعِيْذُهُ بِكَ وَذُرِّيَّتَـهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

أَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ وَلَدًا صَالِحًا بَارًّا لِوَالِدَيْهِ

أَللَّهُمَّ ارْزُقْ لَهُ الصَّلاَحَ وَالنَّجَابَةَ وَالذَّكَاءَ وَحِفْظَكَ لَهُ فِيْهِ

أَللَّهُمَّ حَسِّنْ خَلْقَهُ وَخُلُقَهُ يَامُصَوِّرُ يَاحَكِيْمَ

أَللَّهُـمَّ يَسِّرْ وِلاَدَتَهُ بِحَقِّ ( ثُمَّ السَّـبِيْلَ يَسَّـرَهُ ) مَعَ السَّلاَمَةِ وَاللُّطْفِ وَالْعَـافِيَةِ بِجَاهِ خَيْرِ الْبَرِيَّـةِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Asma’ul Husna

اَلْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى 
Asma’ul Husna

وَللهِ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا:

يَا اللهُ

يَا رَحْمٰنُ

يَا رَحِيْمُ

يَا مَلِكُ

يَا قُدُّوْسُ

يَا سَلاَمُ

يَا مُؤْمِنُ

يَا مُهَيْمِنُ

يَا عَزِيْزُ

يَا جَبَّارُ

يَا مُتَكَبِّرُ

يَا خَالِقُ

يَا بَارِئُ

يَا مُصَوِّرُ

يَا غَفَّارُ

يَا قَهَّارُ

يَا وَهَّابُ

يَا رَزَّاقُ

يَا فَتَّاحُ

يَا عَلِيْمُ

يَا قَابِضُ

يَا بَاسِطُ

يَا خَافِضُ

يَا رَافِعُ

يَا مُعِزُّ

يَا مُذِلُّ

يَا سَمِيْعُ

يَا بَصِيْرُ

يَا حَكَمُ

يَا عَدْلُ

يَا لَطِيْفُ

يَا خَبِيْرُ

يَا حَلِيْمُ

يَا عَظِيْمُ

يَا غَفُوْرُ

يَا شَكُوْرُ

يَا عَلِيُّ

يَا كَبِيْرُ

يَا حَفِيْظُ

يَا مُقِيْتُ

يَا حَسِيْبُ

يَا جَلِيْلُ

يَا كَرِيْمُ

يَا رَقِيْبُ

يَا مُجِيْبُ

يَا وَاسِعُ

يَا حَكِيْمُ

يَا وَدُوْدُ

يَا مَجِيْدُ

يَا بَاعِثُ

يَا شَهِيْدُ

يَا حَقُّ

يَا وَكِيْلُ

يَا قَوِيُّ

يَا مَتِيْنُ

يَا وَلِيُّ

يَا حَمِيْدُ

يَا مُحْصِيْ

يَا مُبْدِئُ

يَا مُعِيْدُ

يَا مُحْيِيْ

يَا مُمِيْتُ

يَا حَيُّ

يَا قَيُّوْمُ

يَا وَاجِدُ

يَا مَاجِدُ

يَا وَاحِدُ

يَا أَحَدُ

يَا صَمَدُ

يَا قَادِرُ

يَا مُقْتَدِرُ

يَا مُقَدِّمُ

يَا مُؤَخِّرُ

يَا أَوَّلُ

يَا أخِرُ

يَا ظَاهِرُ

يَا بَاطِنُ

يَا وَالِيْ

يَا مُتَعَالِ

يَا بَرُّ

يَا تَوَّابُ

يَا مُنْتَقِمُ

يَا عَفُوُّ

يَا رَؤُفُ

 

يَا مَالِكَ الْمُلْكِ

يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ

يَا مُقْسِطُ

يَا جَامِعُ

يَا غَنِيُّ

يَا مُغْنِيْ

يَا مَانِعُ

يَا ضَآرُّ

يَا نَافِعُ

يَا نُوْرُ

يَا هَادِي

يَا بَدِيْعُ

يَا بَاقِي

يَا وَارِثُ

يَا رَشِيْدُ

يَا صَبُوْرُ

Minggu, 27 Oktober 2019

Harus Seimbang Antara Dunia dan Akhirat (Balance)

السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
بسم لله الرحمن الرحيم

*Harus Seimbang Antara Mencari Dunia Dan Akhirat?*

Harus Seimbang Antara Mencari Dunia Dan Akhirat?
Katanya, kita harus *SEIMBANG* antara mencari dunia dan mencari akherat. Padahal Allah berpesan untuk lebih mendahulukan dan mementingkan akherat. Renungkanlah firman-Nya:

*وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا*

“Carilah negeri *AKHERAT* pada nikmat yang diberikan Allah kepadamu, tapi jangan kamu lupakan bagianmu dari dunia“. (QS. Al-Qosos: 77).

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kita agar memanfaatkan nikmat dunia yang Allah berikan, untuk meraih kemuliaan akherat. Arti simpelnya: korbankanlah duniamu, untuk meraih akheratmu!

Lalu Allah katakan, jangan kamu lupakan *BAGIANMU* dari dunia. Ya, “bagianmu”, yakni bagian kecil dari duniamu, bukan setengahnya, apalagi semuanya. Jelas sekali dari ayat ini, bahwa kita harusnya mementingkan akherat, bukan seimbang dengan dunia, apalagi mendahulukan dunia.

Jujurlah, mungkinkah Anda menyeimbangkan antara dunia dan akherat?! Sungguh, seakan itu hal yang mustahil. Yang ada: mendahulukan dunia, atau mendahukan akherat. Dan yang terakhir inilah yang Allah perintahkan.

Makanya, Allah berfirman dalam ayat lain:

*وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ*

“Aku tidaklah ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah hanya kepada-Ku“. (QS. Adz-Dzariyat: 56).

Ayat ini menunjukkan bahwa ibadah adalah tujuan *UTAMA* kita diciptakan. Jika demikian, pantaskan kita menyeimbangkan antara tujuan utama dengan yang lainnya?!

Bahkan dalam doa “sapu jagat” yang sangat masyhur di kalangan awam, ada isyarat untuk mendahukan kehidupan akherat:

*رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ*

“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, juga kebaikan di akhirat. Dan peliharalah kami dari siksa neraka“. (QS. Albaqoroh: 201)

Di sini ada 3 permintaan; 1 permintaan untuk kehidupan dunia, dan 2 permintaan utk kehidupan akherat. Inilah isyarat, bahwa kita harus lebih memikirkan kehidupan akherat, wallohu a’lam.

Semoga bermanfaat, آمين يارب العالمين

***

Penulis: 
Muhammad Aulia Hafidz Al-Majied, SE,. Lc.

JADILAH AHLI AL-QUR’AN !

JADILAH AHLI AL-QUR’AN !

Oleh

Ustadz Muhammad Aulia Hafidz Al-Majied,SE., Lc.

Siapa tidak ingin menjadi ahli al-Qur’an? Inilah kedudukan hamba yang paling mulia dan tinggi di sisi Allâh Azza wa Jalla . Cukuplah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini menunjukkan agungnya kedudukan ini:

Dari Anas bin Mâlik z beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ

“Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi ‘ahli’ Allâh”. Para Sahabat Radhiyallahu anhum bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Siapakah mereka?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah ahli al-Qur’an, (merekalah) ahli (orang-orang yang dekat dan dicintai) Allâh dan diistimewakan di sisi-Nya[1]

Hadits ini menunjukkan tingginya kedudukan dan kemuliaan orang-orang yang menjadi ahli al-Qur’an, karena mereka disebut sebagai ‘ahli Allâh’. Artinya merekalah para wali (kekasih) Allâh Azza wa Jalla yang sangat dekat dan istimewa di sisi-Nya, sebagaimana seorang manusia dekat dengan ‘ahli’ (keluarga)nya. Gelar ini merupakan bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap mereka.[2]

Keutamaan dan kemuliaan besar ini tentu menjadikan setiap orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir, berusaha untuk mengejar dan meraihnya. Apalagi Allâh Azza wa Jalla telah menjanjikan bahwa al-Qur’an akan Allâh Subhanahu wa Ta’ala jadikan mudah sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman, termasuk dalam hal memahami kandungannya dan meraih kemuliaan sebagai ahlinya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an untuk peringatan atau pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran? [Al-Qamar/54:17]

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Makna ayat ini: Sungguh Kami telah menjadikan al-Qur’an yang mulia itu mudah, lafazhnya mudah untuk dihafalkan dan disampaikan (kepada orang lain), juga (kandungan) maknanya mudah untuk dipahami dan dimengerti. Karena al-Qur’an adalah perkataan yang paling indah lafazhnya, yang paling benar (kandungan) maknanya, dan paling jelas penafsirannya. Maka setiap orang yang menghadapkan diri (bersungguh-sungguh mempelajari)nya, Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan baginya dan meringankannya (untuk mencapai) tujuan tersebut.

Peringatan atau pelajaran (yang dimaksud dalam ayat ini) meliputi semua bentuk peringatan atau pelajaran bagi manusia, (baik itu) berupa (penjelasan) halal dan haram, hukum-hukum perintah dan larangan, hukum-hukum balasan (ganjaran pahala atau siksaan di akhirat), nasehat-nasehat dan perenungan, keyakinan-keyakinan yang bermanfaat serta berita-berita yang benar.

Oleh karena itu, ilmu (tentang) al-Qur’an, (baik dalam hal) menghafalnya atau memahami tafsirannya, adalah ilmu yang paling mudah dan paling tinggi (kedudukannya dalam Islam) secara mutlak. Inilah ilmu yang bermanfaat, jika seorang hamba (bersungguh-sungguh) mempelajarinya maka dia akan ditolong (dimudahkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk memahaminya). Salah seorang Ulama Salaf mengomentari ayat ini dengan mengatakan, “Apakah ada orang yang (mau bersungguh-sungguh) menuntut ilmu (mempelajari al-Qur’an) sehingga Allâh Azza wa Jalla akan menolongnya?.

Oleh karena itu, Allâh mengajak (memotivasi) para hamba-Nya untuk menghadapkan diri dan (bersungguh-sungguh) mempelajari al-Qur’an, dalam firman-Nya (di akhir ayat ini):

فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

… Maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?[3]

TINGGINYA KEDUDUKAN DAN KEUTAMAAN ORANG YANG MEMAHAMI AL-QURAN

Cukuplah firman Allâh Azza wa Jalla berikut ini untuk menunjukkan betapa tinggi kemuliaan dan keutamaan orang-orang yang dianugerahi pemahaman al-Qur’an yang benar:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah, “Dengan karunia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), karunia Allâh dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia) [Yûnus/10:58]

Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla memerintahkan orang-orang yang beriman agar mereka merasa bangga (gembira dan bahagia) dengan anugerah yang Allâh Azza wa Jalla limpahkan kepada mereka. Anugerah yang berupa pemahaman terhadap al-Qur’an dan kesempurnaan iman. Dan Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa anugerah dari-Nya itu lebih indah dan lebih mulia dari semua kesenangan dunia yang diperebutkan oleh kebanyakan manusia. ”Karunia Allâh” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para Ulama ahli tafsir dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allâh” ditafsirkan dengan “al-Qur’an”. Keduanya (yaitu keimanan dan al-Qur-an) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bahkan keduanya merupakan ilmu yang paling tinggi dan amal yang paling utama.[4]

Dalam sebuah hadits yang shahih, dari ‘Utsman bin ‘Affân Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Sebaik-baik orang di antara kamu adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya (kepada orang lain)[5].

Hadits yang agung ini menunjukkan tingginya keutamaan orang yang mempelajari al-Qur’an, mempelajari cara membacanya dengan tajwid yang benar, memahami kandungannya dan berusaha menghafalnya dengan baik, kemudian mengajarkannya kepada orang lain, agar petunjuk dan kebaikan yang terkandung di dalamnya tersebar dan di amalkan manusia. Bahkan sebagian dari Ulama mengatakan bahwa barangsiapa mengikhlaskan niatnya dan selalu menyibukkan diri dengan mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya, maka termasuk ke dalam golongan para Nabi Alaihissallam (pengikut para Nabi Alaihissallam yang setia).”[6]

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa mempelajari al-Qur’an maka akan tinggi kedudukannya.”[7]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Mempelajari dan mengajarkan al-Qur’an (dalam hadits ini) mencakup mempelajari dan mengajarkan lafazhnya, juga mempelajari dan mengajarkan kandungan maknanya.”[8]

Dan masih banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan hal ini, cukuplah ayat dan hadits di atas sebagai contoh yang menggambarkan betapa agung kedudukan orang yang memahami al-Qur’an.

AL-QUR’AN SUMBER PETUNJUK KEBAIKAN DAN OBAT PENYAKIT HATI

Agungnya kedudukan orang yang memahami al-Qur’an, juga semakin terlihat jelas dengan merenungkan besarnya fungsi diturunkannya al-Qur’an itu sendiri, yaitu sebagai sumber petunjuk dalam kebaikan dan obat penyakit hati manusia.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat atau pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman [Yûnus/10:57]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang anugerah besar yang diturunkan kepada para hamba-Nya, yaitu al-Qur’an yang mulia. Karena di dalam al-Qur’an terdapat nasehat untuk menjauhi perbuatan maksiat, penyembuh bagi penyakit hati, yaitu kelemahan iman, keragu-raguan dan kerancuan dalam memahami agama, serta penyakit syahwat yang merusak hati. Juga terdapat petunjuk, yaitu bimbingan bagi orang yang merenungkan, memahami, dan mengikuti al-Qur’an ke jalan yang bisa mengantarkannya ke surga, serta sebab-sebab untuk mendapatkan rahmat Allâh Azza wa Jalla yang terkandung di dalamnya.[9]

Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا

Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar [Al-Isrâ’/17:9]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Dalam ayat ini) Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang kemuliaan dan keagungan al-Qur’an, bahwa kitab ini memberikan petunjuk menuju (jalan) yang paling lurus dan paling mulia dalam keyakinan, amal dan akhlak. Sehingga barangsiapa mengikuti petunjuk yang diserukan dalam al-Qur’an, maka dia akan menjadi orang yang paling sempurna, paling lurus dan paling terbimbing dalam segala urusannya.”[10]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan tingginya kedudukan dan sempurnanya petunjuk al-Qur’an dalam semua kebaikan dan keutamaan. Beliau rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu kitabpun di kolong langit yang mengandung bukti-bukti dan argumentasi tentang perkara-perkara mulia yang dituntut (dalam Islam), yaitu tauhid, penetapan sifat-sifat Allâh, hari kebangkitan dan kenabian, juga sanggahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang dan pemikiran-pemikiran yang rusak, tidak ada satupun yang seperti al-Qur’an. Sesungguhnya al-Qur’an menjamin dan menanggung semua itu dalam bentuk yang paling baik dan sempurna, paling masuk akal, serta paling jelas penjabarannya. Maka al-Qur’an merupakan obat penyembuh yang sejati bagi penyakit-penyakit syubhat (kerancuan dalam memahami Islam) dan keragu-raguan.

Namun, semua itu bergantung pada pemahaman dan penghayatan terhadap kandungan makna al-Qur’an. Barangsiapa dinugerahkan oleh Allâh Azza wa Jalla hal itu, maka dia akan dapat memandang (dan dapat membedakan) kebenaran dan kebatilan secara jelas dengan hatinya, sebagaimana dia bisa memandang (dan bisa membedakan dengan jelas) siang dan malam hari.”[11]

SYARAT MENDAPATKAN MANFAAT DARI PETUNJUK AL-QUR’AN

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika kamu ingin mendapatkan manfaat dari (petunjuk) al-Qur’an, maka pusatkanlah hatimu ketika membaca dan menyimaknya, fokuskanlah pendengaranmu, serta hadirkanlah dirimu sebagaimana hamba Allâh (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang menerima al-Qur’an ini  menghadirkan dirinya (ketika diturunkan al-Qur’an kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena sesungguhnya al-Qur’an ini (sejatinya) merupakan petunjuk bagimu dari Allâh melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam”[12]

Petunjuk dan manfaat al-Qur’an sebagai nasehat dan peringatan, hanya akan Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada hamba-Nya yang memiliki hati yang hidup (sehat dan jauh dari kotoran penyakit hati) dan terbuka untuk menerima petunjuk-Nya. Sebagaimana makna firman-Nya:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

Sesungguhnya pada yang demikian itu (kisah-kisah dalam al-Qur’an) benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai hati (yang hidup/bersih) atau yang mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia menghadirkan (hati)nya [Qâf/50:37]

Juga firman-Nya:

إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ ﴿٦٩﴾ لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ

al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir [Yâsîn/36:69-70]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan hati (dalam ayat) ini adalah hati yang hidup (bersih dari noda syahwat atau syubhat) yang bisa memahami (peringatan atau petnjuk) dari Allâh.”[13]

Oleh karena itu, upaya untuk memasukkan makna dan kandungan al-Qur’an ke dalam hati, ini merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan manfaat dan nasehat dari petunjuk al-Qur’an. Dengan inilah Allâh Subhanahu wa Ta’ala memuji para hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya:

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ

Sebenarnya, al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada (hati) orang-orang yang berilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim” [al-‘Ankabût/29: 49]

Upaya ini tidak lain adalah berusaha membaca al-Qur’an dengan memahami maknanya, merenungkan kandungnya dan menghayati petunjuknya, sebagaimana ucapan Imam Ibnul Qayyim yang kami nukilkan di atas, “ … namun semua (manfaat dan petunjuk al-Qur’an) itu bergantung pada pemahaman dan penghayatan terhadap kandungan makna al-Qur’an.”[14]

Oleh karena itu, orang-orang yang hati mereka hidup dengan iman kepada Allâh Azza wa Jalla , mereka inilah yang akan bertambah kuat dan sempurna keimanan dan kebaikan dalam diri mereka setiap kali mereka mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang merupakan bentuk dzikir kepada Allâh Azza wa Jalla yang paling agung, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan hanya kepada Allâh mereka bertawakkal [al-Anfâl/8:2]

Maka orang yang beriman dengan benar adalah orang yang ketika berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla , hatinya menjadi takut dan tunduk kepada-Nya. Ini akan menjadikannya selalu menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya. Karena bukti terbesar rasa takut yang benar kepada Allâh adalah menjadikan orang tersebut menjauhi perbuatan dosa dan maksiat.

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah iman mereka”. Karena orang yang beriman ketika mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dia benar-benar mendengarkannya dengan seksama dan menghadirkan hatinya untuk merenungkan kandungannya. Ketika itulah imannya bertambah dan semakin kuat. Karena dengan merenungkan kandungannya dia akan mendapatkan penjelasan hal-hal yang tidak diketahuinya sebelumnya, mengingatkan akan kelalaiannya, menumbuhkan motivasi kebaikan dalam dirinya, semangat untuk mengejar kemuliaan di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan rasa takut terhadap siksa-Nya. Semua perkara ini akan menumbuhkan dan menyempurnakan keimanannya”[15]

TADABBUR (RENUNGANDAN HAYATI KANDUNGAN AL-QUR’AN!

Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca dan direnungkan maknanya, serta dihayati petunjuknya, agar bisa menjadi sebab kebaikan bagi diri manusia, lahir dan batin. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29]

Imam al-Hasan al-Bashri t berkata, “Demi Allâh! Bukanlah mentadabburi al-Qur’an dengan (hanya) dengan menghafal huruf-huruf (lafazh)nya tapi melalaikan hukum-hukum (kandungan)nya. Sampai-sampai salah seorang dari mereka berkata, “Aku telah membaca al-Qur’an) seluruhnya”, tapi tidak terlihat pada dirinya (aplikasi terhadap al-Qur’an) dalam akhlak dan perbuatannya.”[16]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Memperhatikan (merenungkan) al-Qur’an, artinya adalah memfokuskan mata hati terhadap kandungan maknanya serta menfokuskan pikiran untuk merenungkan dan memahaminya. Inilah maksud (tujuan) diturunkannya al-Qur’an, bukan hanya sekedar dibaca (lafazhnya) tanpa pemahaman dan penghayatan.”[17]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah hikmah diturunkannya al-Qur’an, agar manusia merenungkan ayat-ayatnya, sehingga mereka bisa menyimpulkan ilmu-ilmunya, serta mengamati rahasia dan hikmahnya. Maka dengan merenungkan, menghayati dan memikirkan (kandungan) al-Qur’an berulang kali, akan diraih keberkahan dan kebaikannya. Ini menunjukkan anjuran untuk merenungkan (makna) al-Qur’an, bahkan ini termasuk amal (shaleh) yang paling utama dan sesungguhnya membaca al-Qur’an yang disertai perenungan terhadap maknanya lebih utama dari pada membacanya dengan cepat tanpa disertai perenungan.”[18]

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Mentadabburi (merenungkan dan menghayati) al-Qur’an termasuk cara dan sarana terbesar untuk menumbuhkan dan menguatkan keimanan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29]

Maka mengeluarkan keberkahan al-Qur’an, yang terpenting di antaranya adalah menumbuhkan keimanan, cara dan metodenya adalah dengan merenungkan dan menghayati ayat-ayatnya.”[19]

Inilah metode para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Tabi’in (generasi setelah para Sahabat Radhiyallahu anhum) ketika mempelajari dan mendalami al-Qur’an.

Imam Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin Habib as-Sulami al-Kûfi rahimahullah berkata, “Kami mempelajari al-Qur’an dari suatu kaum (para Sahabat Radhiyallahu anhum); ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu, ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu dan selain mereka berdua. Mereka menyampaikan kepada kami bahwa dulunya ketika mereka mempelajari (al-Qur’an) dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, maka mereka tidak akan melewati ayat-ayat tersebut sampai memahami kandungan isinya, dalam ilmu dan amal. Mereka berkata, “kami (dulu) belajar al-Qur’an, memahami kandungannya dan pengamalannya secara keseluruhan.”[20]

Di dalam al-Qur’an, Allâh Azza wa Jalla menerangkan keburukan besar pada diri orang-orang munafik, yaitu hati mereka yang tertutup untuk menerima kebenaran. Karena mereka berpaling dari merenungkan dan menghayati kandungan al-Qur’an. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Apakah mereka tidak mentadabbur (merenungkan kandungan makna) al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci (tertutup untuk menerima kebenaran)? [Muhammad/47:24].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Arti ayat ini, apakah orang yang berpaling (munafik) itu tidak mentadabbur (merenungkan kandungan makna) al-Qur’an dan tidak menghayatinya dengan benar? Padahal kalau mereka (mau) mentadabburinya, maka al-Qur’an akan membimbing mereka kepada semua kebaikan, memperingatkan mereka dari semua keburukan, mengisi hati mereka dengan iman (kepada Allâh Azza wa Jalla ) dan jiwa meraka dengan keyakinan (yang benar). Sungguh al-Qur’an akan membawa mereka meraih kedudukan yang tinggi (di sisi Allâh Azza wa Jalla ) dan karunia yang sangat agung (dari-Nya). Al-Qur’an akan menjelaskan kepada mereka jalan yang mengantarkan kapada (keridhaan) Allâh, kepada surga disertai (penjelasan tentang) hal-hal yang menyempurnakan kenikmatannya atau hal-hal yang menghalangi untuk meraihnya. Al-Qur’an juga menjelaskan jalan yang mengantarkan kapada azab (neraka) dan hal-hal yang harus dijauhi. Al-Qur’an akan mengenalkan mereka kepada Allâh (dengan menjeaskan) nama-nama-Nya (yang maha indah), sifat-sifat-Nya (yang maha sempurna) dan kebaikan-Nya (yang maha agung). Al-Qur’an akan membangkitkan kerinduan mereka untuk (meraih) pahala yang besar (di sisi-Nya) dan menjadikan mereka takut akan siksaan-Nya yang pedih.”[21]

SIAPAKAH AHLI AL-QUR’AN YANG HAKIKI?

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Orang-orang yang telah kami beri (turunkan) al-kitab (al-Qur’an) kepada mereka, mereka mentilawah (membaca)nya dengan tilawah yang sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi (dunia dan akhirat) [Al-Baqarah/2:121]

Ketika menjelaskan firman Allâh Azza wa Jalla di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tilâwah al-Qur’an meliputi tilâwah (membaca) lafazhnya dan tilâwah (memahami) makna (kandungan)nya. Tilâwah makna al-Qur-an lebih mulia (utama) daripada sekedar tilâwah lafazhnya. Dan orang-orang yang memahami kandungan al-Qur-an merekalah ahli al-Qur-an, yang dipuji di dunia dan akhirat, karena merekalah yang ahli sejati dalam membaca dan mengikuti (petunjuk) al-Qur’an.”[22]

Inilah makna hadits yang kami sebutkan di awal tulisan ini:

Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ

“Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi ‘ahli’ Allâh”. Para Sahabat g bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Siapakah mereka?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah ahli al-Qur’an, (merekalah) ahli (orang-orang yang dekat dan dicintai) Allâh dan diistimewakan di sisi-Nya

Ahli al-Qur’an adalah orang-orang beriman yang berusaha menghafalnya dan membacanya dengan benar, serta memahami dan mengamalkan kandungannya, jadi bukan hanya sekedar membaca dan menghafal lafazhnya.[23]

Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela dan melaknat orang-orang Khawarij, padahal banyak di antara mereka yang menghafal dan banyak membaca al-Qur’an, tapi mereka tidak memahaminya dan tidak mengambil manfaat dari petunjuknya.[24] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ

Mereka (orang-orang Khawarij) pandai membaca (menghafal) al-Qur’an tapi tidak melampaui tenggorokan mereka[25]

Inilah makna ucapan dari salah seorang ulama Salaf yang berkata, “Terkadang ada orang yang (pandai) membaca al-Qur’an, tapi al-Qur’an (justru) melaknat dirinya”[26].

Dalam hal ini, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tujuan dari membaca al-Qur’an adalah untuk memahami, merenungkan, mendalami (kandungan maknanya) dan mengamalkannya. Adapun membaca dan menghafalnya adalah sarana untuk (memahami) isinya, sebagaimana ucapan salah seorang Ulama salaf: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, maka jadikanlah bacaannya sebagai amalan. Oleh karena itu, (yang disebut) ahli al-Qur-an adalah orang-orang yang memahami isinya dan mengamalkan (petunjuk)nya, meskipun mereka tidak menghafalnya di luar kepala. Adapun orang yang menghafal al-Qur’an, tapi tidak memahami (kandungan)nya dan tidak mengamalkan petnjuknya, maka dia bukanlah ahli al-Qur-an, meskipun dia mampu menegakkan huruf-hurufnya (lafazhnya) seperti tegaknya anak panah…Juga dikarenakan keimanan adalah amalan yang paling utama, sedangkan memahami dan merenungkan al-Qur’an inilah yang membuahkan iman. Adapun hanya sekedar membacanya tanpa memahami dan merenungkannya, maka ini bisa dilakukan oleh orang yang shaleh maupun jahat, dan orang yang beriman maupun munafik, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَلَا طَعْمَ لَهَا

Perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an adalah seperti (tumbuhan) raihanah, baunya harum tetapi rasanya pahit[27]

PENUTUP

Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi kita semua untuk lebih semangat dan bersungguh-sungguh dalam membaca al-Qur’an, berusaha menghafalnya dan memahami kandungan maknanya, untuk memudahkan kita – dengan izin Allâh Azza wa Jalla – merenungkan dan menghayati isinya yang merupakan sebab utama untuk menumbuhkan dan menyempurnakan keimanan kita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا

Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang agung [al-Isrâ’/17:9].

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia k menjadikan kita semua sebagai ahli al-Qur’an. Sesungguhnya Alloh SWT maha mendengar lagi maha mengabulkan do’a.


Footnote:
[1] HR Ahmad, 3/127; Ibnu Mâjah, 1/78; dan al-Hâkim, 1/743; Hadits ini dinyatakan hasan oleh Imam al-‘Iraqi (Takhrîj al-Ihyâ 1/222) dan as-Sakhawi (Kasyful khafâ’, hlm. 292), dan dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani.

[2] Lihat kitab Faidhul Qadîr , 3/67

[3] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 825

[4] Lihat keterangan Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/51

[5] HSR. Al-Bukhâri, no. 4739

[6] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (3/499).

[7] Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/165

[8] Kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/74

[9] Lihat kitab Tafsir Ibni Katsîr, 2/553 dan Fathul Qadîr, 2/656

[10] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 454

[11] Kitab Ighâtsatul Lahfân, 1/44

[12] Kitab al-Fawâ-id, hlm. 3

[13] Kitab al-Fawâ-id, hlm. 3

[14] Kitab Ighâtsatul Lahfân, 1/44

[15] Lihat keterangan Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 315

[16] Dinukil oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibni Katsîr, 4/43

[17] Kitab Madârijus Sâlikîn, 1/451

[18] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 712

[19] Kitab at-Taudhîh wal Bayân li Syajaratil îmân, hlm. 51

[20] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Daqâ-iqut Tafsîr (2/227) dan adz-Dzahabi dalam Siyar A’lâmin Nubalâ’, 4/269

[21] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 788

[22] Kitab Miftâhu Dâris Sa’âdah, 1/42

[23] Lihat kitab Faidhul Qadîr, 3/67

[24] Lihat kitab Syarhu Shahîh Muslim, 7/159

[25] HSR. Al-Bukhâri, 3/1219 dan Muslim , no. 1064

[26] Dinukil oleh Imam Abul Fadhl al-Alusy dalam tafsir beliau Rûhul Ma’â-ni, 22/192

[27] Kitab Zâdul Ma’âd, 1/323. Hadits di atas riwayat al-Bukhari, no. 5111 dan Muslim, no. 797

والله اعلم

Ma'rifatul Insan

Presentasi berjudul: "Ma’rifatul Insan Kompetensi Dasar : Mengetahui asal usul manusia"— Transcript presentasi:

1 Ma’rifatul Insan Kompetensi Dasar : Mengetahui asal usul manusia

Memahami hakikat manusiaMengetahui peran dan tujuan manusia diciptakan

2 Pokok Bahasan : Asal-usul Manusia Hakikat Manusia Peran Manusia
Tazkiyatun Nafs

3 Asal-usul manusia Surat Al-Baqarah: 30
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat :”sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. “Mereka berkata: Mengapa engkau hendak menjadikan seorang khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? “Tuhan berfirman:”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

4 HAKIKAT MANUSIA Mukarram (Makhluk yang dimuliakan)
Mukallaf (Makhluk yang dibebankan tugas)Mujzi (Makhluk yang mendapatkan balasan atas amalannya)

5 Peran manusiaIBADAHAdz-dzariyat:56KHALIFAHAl-Baqarah :30

6 TAZKIYATUN NAFSTazkiyah secara etimologis punya dua makna yaitu Penyucian dan pertumbuhan.Secara Istilah, Zakatun-nafsi artinya penyucian (tathahhur) jiwa dari segala penyakit dan cacat, merealisasikan {tahaqquq) berbagai maqam padanya, dan menjadikan asma' dan shifat sebagai akhlaqnya (takhalluq).

7 Syamarah (buah) dari tazkiyatun nafs akan tampak dalam perilaku seseorang diantaranya yaitu:
1. Selalu Bersyukur Mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada seseorang adalah perbuatan mulia, tetapi banyak diantara orang sulit melaksanakannya karena melupakan nilai nikmat yang sangat besar telah diberikan oleh Allah SWT, kecuali orang-orang yang selalu mengadakan tazkiyatun nafs terhadap dirinya sendiri. 2. Bersabar "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS.2:153). 3. Pemaaf Konsekuensi tertanamnya tazkiyatun nafs, juga dapat melahirkan orang-orang yang mampu menahan amarah dan membentuk perilaku pemaaf. Karena dalam udara penuh emosional sulit orang mampu mewujudkan jiwa yang suka memaafkan terhadap kesalahan pihak lain. Sesungguhnya menurut pandangan Islam nilai pemaaf merupakan hasil penataan dari keimanan seseorang. Oleh karenanya Allah SWT mengabadikan dalam Al-Quran: "...dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS.3:134).

8 Lanjutan4. Ar-Rahim Bentuk Ar-Rahim (kasih sayang) Allah SWT diciptakan agar dijadikan landasan hidup setiap orang, sehingga terwujudnya masyarakat yang penuh damai. 5. Al-Amin Salah satu akhlak yang menonjol dalam perilaku Rasulullah SAW adalah Al-Amin (terpercaya), yang harus menjadi petunjuk oleh setiap umat Islam. Karena faktor kepercayaan akan mampu menciptakan kondisi yang mendekatkan perilaku kebajikan dalam operasionalitas hidupnya. 6. Al-Falah Puncak tazkiyatun nafsi yang sebelumnya telah melakukan aktivitas syukur hingga al-amin sebagai syamarah (buahnya) adalah alfalah (kemenangan). Al-Falah yang diraihnya bukan hadir tanpa melalui proses tadhiyah untuk meraihnya. Ketaatan/tsiqah kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW menyertainya: "Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (QS.24:52). Kemenangan yang dijanjikan Allah SWT sekaligus sebagai cambuk untuk berada serta mampu mempertahankan nilai ketaqwaan sampai akhir zaman.


Kamis, 24 Oktober 2019

Khutbah Jumat: Pentingnya Selalu Berdzikir dan Duduk Bersama Orang Sholeh

KHUTBAH Khutbah Jumat: Pentingnya Selalu Berdzikir dan Duduk Bersama Orang Saleh Jumat 31 Agustus 2018 22:45 WIB Share: null Khutbah I   اَلْحَمْدُ للهْ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِىْ هَدَانَا بِدِيْنِ الْاِسْلَام، وَشَرَّفَ مَنْ يُوَاصِلُوْنَ الْأَرْحَام، وَمَنَحَ النَّاسَ الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى طُوْلَ الدُّهُوْرِ وَالْأَيَّامْ. وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْأَنَامْ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الزِّحَامْ. أَمَّا بَعْد  فَيَا عِبَادَ الله، أُوْصِيْنِي نَفْسِي بِتَقْوَى الله، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ    Hadirin jamaah jumah hafidhakumullah,   Kami berwasiat kepada pribadi kami sendiri, juga kepada para hadirin sekalian, marilah kita tingkatkan takwa kita kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ dengan selalu menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya.    Hadirin…    Selain menjalankan ibadah-ibadah pokok seperti shalat, puasa, dan lain sebagainya, di antara cara meningkatkan kualitas takwa dan keimanan kita adalah dengan selalu berdzikir kepada Allah subhânahu wa ta’âlâ baik dalam kondisi sendiri maupun secara berjamaah.    Perlu kita ketahui, melakukan dzikir kepada Allah, tidak hanya disyariatkan saat bersendiri saja. Namun juga diperintahkan oleh syariat dengan dilakukan secara bersama-sama atau berjamaah. Melakukan dzikir secara bersama-sama tidak merupakan bid’ah, bukan merupakan hal baru dalam Islam. Hal ini berdasar dengan hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut:   إِنَّ لِهِbu تَعَالَى مَلاَئِكَةً يَطُوْفُوْنَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُوْنَ أَهْلَ الذِّكْرِ،   Sesungguhnya Allah ta’âla mempunyai malaikat yang bertugas berkeliling di jalan-jalan mencari orang-orang ahli dzikir.   فَإِذَا وَجَدُوْا قَوْماً يَذْكُرُوْنَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، تَنَادَوْا: هَلُمُّوْا إِلَى حَاجَتِكُمْ،   Jika malaikat-malaikat tersebut menemukan ada kaum yang berdzikir kepada Allah azza wa jalla, para malaikat menyeru, “Sampaikan apa kebutuhan kalian?”   فَيَحُفُّوْنَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا،    “Malaikat meliputi mereka dengan sayap-sayapnya hingga sampai langit dunia, yaitu langit yang paling rendah.”   فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ: مَا يَقُوْلُ عِبَادِيْ   Malaikat-malaikat itu kemudian ditanya oleh Allah, sedangkanAllah adalah Dzat yang Maha-mengetahui: “Apa yang dibaca oleh hamba-hambaku?”   يَقُوْلُوْنَ: يُسَبِّحُوْنَكَ، وَيُكَبِّرُوْنَكَ، وَيَحْمِدُوْنَكَ وَيُمَجِّدُوْنَكَ،   “Mereka bertasbih kepada-Mu, Ya Allah. Bertakbir kepada-Mu, bertahmid, dan memuliakan nama-Mu.” Begitu jawab Malaikat.    فَيَقُوْلُ: هَلْ رَأَوْنِيْ   Allah lalu kembali bertanya, “Apakah mereka melihat-Ku (Allah)?”    فَيَقُوْلُوْنَ: لَا وَاللهِ مَا رَأَوْكَ    Malaikat menjawab, “Tidak, demi Allah, mereka tidak pernah melihat Engkau, Ya Allah.”   فَيَقُوْلُ: كَيْفَ لَوْ رَأَوْنِيْ   “Bagaimana seandainya mereka bisa melihat-Ku?”   يَقُوْلُوْنَ: لَوْ رَأَوْكَ كَانُوْا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيْداً وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيْحًا،    “Andaikan mereka melihat-Mu, pasti mereka akan lebih lagi dalam melakukan ibadah, menyembah-Mu, lebih memuliakan-Mu, serta lebih banyak lagi bacaan tasbih mereka atas-Mu, ya Rabb.”   فَيَقُوْلُ: فَمَاذَا يَسْأَلُوْنَ   “Lalu apa yang dia minta kepada-Ku?”   يَقُوْلُوْنَ: يَسْأَلُوْنَكَ الْجَنَّةَ    “Mereka minta surga-Mu, Ya Rabb.”   يَقُوْلُ: وَهَلْ رَأَوْهَا    “Nah, apa mereka juga sudah pernah melihat surga-Ku itu?”   يَقُوْلُوْنَ: لاَ وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا    “Belum. Demi Allah, wahai Tuhanku. Mereka belum pernah sekalipun melihat surga-Mu.”   يَقُوْلُ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا    “Bagaimana seandainya mereka sudah pernah melihatnya?”   يَقُوْلُوْنَ: لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوْا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصاً وَأَشَدَّ لَهَا طَلَباً وَأَعْظَمَ فِيْهَا رُغْبَةً    “Apabila mereka pernah melihatnya, pasti mereka lebih semangat dan giat dalam mencari dan menyukai surga tersebut.”   قَالَ: فَمِمَ يَتَعَوَّذُوْنَ   “Apa yang mereka mintakan perlindungan?”   يَقُوْلُوْنَ: يَتَعَوَّذُوْنَ مِنَ النَّارِ،   “Mereka meminta perlindungan dari siksaan api neraka.”   فَيَقُوْلُ: وَهَلْ رَأَوْهَا    “Apakah mereka pernah melihatnya?”   يَقُوْلُوْنَ: لاَ وَاللهِ مَا رَأَوْهَا    “Ya Tuhan, mereka belum pernah menyaksikannya.”   فَيَقُوْلُ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا    “Kemudian bagaimana sikap mereka andai saja mereka sudah pernah melihat neraka itu?”   يَقُوْلُوْنَ: لَوْ رَأَوْهَا كَانُوْا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَاراً وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً    “Pastinya mereka akan lari kencang dan begitu menakuti neraka tersebut, Ya Rabb.”   قَالَ: فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّيْ قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ   “Dengan begitu, saksikanlah, bahwa Aku sungguh telah mengampuni mereka.”   يَقُوْلُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ: فِيْهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ. إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ،    Ada satu malaikat yang melapor kepada Allah, “Ya Allah, di antara orang-orang yang sedang duduk dzikir kepada-Mu tersebut ada satu orang yang tidak ikut dzikir. Namun kedatangan mereka di majelis itu karena ada suatu kepentingan lain.”   قَالَ: هُمُ الْجُلَسَاءُ لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيْسُهُمْ   Allah menjawab: “Mereka adalah orang yang duduk dalam kebersamaan satu majlis. Tidak ada orang yang celaka bagi siapapun yang duduk satu majlis dengan mereka.” (HR Bukhari-Muslim).   Hadirin, hafidhakumullahو   Kisah dalam hadis di atas dapat kita ambil pelajaran, bahwa berdzikir secara bersama-sama mempunyai dasar yang jelas di antaranya melalui hadits di atas, di mana malaikat melaporkan orang yang berdzikir bersama-sama. Siapapun saja yang hadir dalam satu majlis, meskipun orang itu mempunyai kepentingan atau niat yang kurang lurus, atau mengantuk, namun karena keagungan majlis dzikir, siapapun mereka yang berada di dalam satu majlis itu, Allah akan mengampuni dosa mereka semua. Allahumma ij’alna minhum.   Manfaat lain selain berdzikir mengingat Allah, berdzikir bersama orang banyak mempunyai segudang manfaat. Seorang dokter yang tidak pernah bertemu dengan dokter lain, ia akan merasa menjadi dokter sendiri, merasa paling pintar sendiri. Orang yang wajahnya ganteng, apabila tidak pernah bertemu dengan orang lain yang ganteng, ia akan merasa paling ganteng sendiri. Begitu pula kita. Kita perlu berkumpul satu majlis dengan orang-orang alim, saleh, dekat kepada Allah, supaya kita terhindar dari perasaan merasa paling alim sendiri, saleh sendiri, ahli dzikir sendiri, akhirnya ujub, membanggakan diri sendiri, seolah kitalah yang paling dekat dengan Allah, orang lain tidak. Ini berbahaya.    Namun, apabila kita sering berkumpul satu majlis dzikir dengan orang-orang baik, penyakit hati berupa membanggakan diri sendiri, insyaallah akan terobati. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:     يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ    Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan bersamalah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS At-Taubah: 119)    Menurut Ibrahim al-Khawwash, berkumpul dengan orang saleh merupakan bagian lima tips yang terkenal sebagai obat hati sebagai berikut:   دَوَاءُ الْقَلْبِ خَمْسَةُ أشْيَاءَ    Obat hati ada lima perkara:   Pertama,    قِرَأَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّدَبُّرِ    Membaca al-Qur’an dengan merenungkan maknanya.   Kedua,    وَخَلاَءُ الْبَطْنِ   Kosongnya perut, artinya bisa dengan berpuasa atau tidak selalu mengikuti hawa nafsu makan, termasuk makan terlalu kenyang.    Ketiga,   وَقِيَامُ اللَّيْلِ   Shalat malam.   Keempat,   وَالتَّضَرُّعُ عِنْدَ السَّحُرِ   Berdoa di waktu sahur.   Terakhir, pesan Ibrahim al-Khawwash atau yang kelima,   وَمُجَالَسَةُ الصَّالِحِيْنَ    Berkumpul dengan orang baik-baik.    Hadirin…    Di sinilah letak bagaimana pentingnya berdzikir dan berkumpul bersama orang-orang baik.    اَلصَّدِيْقُ مَنْ صَادَقَكَ، لَا مَنْ صَدَّقَكَ   “Teman sejati adalah orang yang mau meluruskan kita di saat kita melakukan perilaku salah. Teman bukanlah orang yang selalu membenarkan tindakan kita walaupun itu salah.”    Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman bahwa kita disuruh bersabar menemani orang-orang baik yang menyeru kepada jalan Allah:   وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا   Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS al-Kahf: 28).   Dalam ayat lain, Allah berfirman:    الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ    Artinya: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS:Az Zukhruf: 67(   Rasulullah Muhammad ﷺ menyebut:    إِنَّما مثَلُ الجلِيس الصَّالِحِ وَجَلِيسِ السُّوءِ: كَحَامِلِ المِسْكِ، وَنَافِخِ الْكِيرِ   Artinya: “Duduk-duduk bersama orang yang saleh dengan orang buruk, laksana duduk bersama dengan orang yang memakai parfum kasturi dengan berdekatan dengan pande besi.    Orang yang berkumpul orang wangi, akan menjadi wangi. Orang yang dekat pande besi, bias kecipratan api, baunya tidak enak.    Dalam kitab Ta’lîmul Mutaallim, Imam Az-Zarnuji mengutip syair Arab:    عنِ المرْءِ لا تَسألْ وسَلْ عن قَرينه، فكُلُّ قَرينٍ بالمُقَارِنِ يَقْتَدي    Artinya: “Tentang seseorang, jangan kamu tanya bagaimana sifat dan perilakunya secara langsung kepada yang bersangkutan. Karena seorang teman akan mengikuti pola piker dan perilaku orang yang dikumpuli.”   Dengan demikian, jika berkumpul-kumpul satu majlis dengan orang saleh dianjurkan Allah dan Rasul-Nya, berdzikir bersama juga ada tuntunannya, maka mana lagi dalil yang melarang dzikir bersama? Tidak ada.    Dalil semua bid’ah sesat sebagai jurus mematikan kegiatan ini, sungguh tepat. Karena hal ini tidak termasuk bid’ah.    Pada akhir khutbah kali ini, kami sampaikan kesimpulan, dzikir berjamaah itu ada tuntunannya dari hadits Rasulullah ﷺ.    Duduk dengan orang yang ahli dzikir sangat bermanfaat bagi kita, walaupun kita tidak ikut dzikir sebagaimana yang lain. Apalagi kita ikut berdzikir menjadi bagian dari mereka, ini sangat besar sekali manfaatnya.    Berkumpul dengan orang saleh selalu membawa manfaat bagi siapa saja yang berkenan mendekat dan berteman dengan mereka.    بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ العَظِيْمِ، وَجَعَلَنِي وَإِيَّاكُمْ بِماَ فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ التَّوَّابُ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمِ. أعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشيطن الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، وَالْعَصْرِ،  إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ  وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ    Khutbah II   الحمد للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا   أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ   اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ